Supported by. Baims Chania
B
adra telah bermimpi di suatu malam ketika angin laut senyap-senyap mengisar pepohonan. Membuat tungkai-tungkai dahan berdaun lebat berdesir mengepak. Ia menuntun turun seorang gadis berkaki jenjang seperti tangkai Calla, kulitnya nyaris Helianthus pegunungan yang subur, berlesung pipi seperti lengkung palung, dan berbuah dada seperti Labu Putih mangkal dengan bulu-bulu halus yang semum basah. Perempuan itu tersenyum merekah, namum bola matanya yang indah terpagut mati, sekujur tubuhnya pucat pasi. Mungkin telah lama berada didalam peti, membuat ia tak ingat dimana dan di masa apa ia berada kini.
Perahu kajang itu akhirnya hilir ke sebuah lautan yang menjorok ke daratan. Merayap lamban di tiga titian pelabuhan tua. Perahu dengan atap rumbia satu-satunya cara untuk menghindari sengat siang dan patukan hujan. Tapi bukan karena kajang pelayaran tiga hari tiga malam itu terjadi, lebih pasti karena mimpi.
Perjaka macam Badra, tak mampu membayangkan keindahan perempuan dan elok luka yang tergores karenanya. Ia sempat mengira-ira, mungkin perempuan itu semulus dan selicin paus putih yang melompat-lompat indah menangkap ombak. Mungkin pula kokoh dan tajamnya bambu-bambu kuning yang ia pandangi dan jalari permukaannya setiap kali dipilah untuk di potong. Dihari-hari berikutnyapun saat ia tak sempat memikirkan makhluk seperti apa perempuan itu, maka perempuan adalah rawa rajung itulah, hutan berawa tempat ia dilahirkan dan dibesarkan sehingga akhirnya ia bermimpi menuntun seorang perempuan dari sebuah teluk yang berpesona dan penuh goda.
Badra sempat mengenal perempuan yakni sang ibu yang melahirkannya. Ia tak melihat indah ditubuh ibunya yang berkulit hitam mengkerut dan bergisik kering, juga payudara yang tak sama sekali menonjol atau pun berbintil merah. Hanya rangka tulang dada yang berbaris berkilat dan kian terlihat jika ia berbicara taupun menenggak minum. Ia hanya melihat eloknya ketika sang ibu memanggul sekeruntung kayu bakar dan menghembus-hembus sulang tungku yang penuh jelaga bekas kabut asap dan panas bara. Namun hari itu sudah berlalu. Hari dimana alam mengutuknya menjadi sebatang kara.
Tapi mimpi itu datang seperti semburan hawa surga dari Tuhan melalui langit. Mungkin tak sebanding dengan purnama yang menjadikan pucuk dedaunan seperti berkaca tanah, terasa dekat namun Cuma bayang. Atau seperti kerlip bintang yang memantulkan cahaya ke pelupuk mata, meski jauh namun nyata. Mimpi dimana ia tercenung menatap rangka oval seorang gadis dan bulat pinggul yang empuk menonjol dibagian belakangnya. Seorang gadis bertubuh tegap nan kokoh namun lembut dan lemah dibalik gemulai geriknya.
“Berlayalah ke teluk Sanua. Keduk tanah berumput di bahu Tebing Gerinting, di dekat air panas yang terjun mengerikis putih dan bening,’’ kata seorang kakek bertubuh julang sejulang pohon Ek. Wajahnya disemaki jenggot dan jambak yang keriting lebat.
“Lebak sekedi itu maksudmu?”
Kakek itu mengangguk laun. “tapi di sana banyak silumannya.” “Hahahaha,” tawa kakek raksasa sontak bergaung seantero hutan, “Gnakan otakmu yang delima, Badra. Bukan kakimu yang pendek itu.”
“Kenapa aku harus ke sana?”
“Sebuah peti tertanam selama lima ratus tahun.”
“Apa itu harta karun?”
Kakek itu menggeleng sambil bergumam, “Ehm, tapi bisa disebut kehidupan.”
“Kehidupan seperti apa?”
“Kehidupan yang panjang.”
Badra mengenyit bingung. Apa ia sudah mati sampai-sampai si kakek menawarkan kehidupan padanya. Atau mimpi itu pertanda bahwa mautnya akan datang sebentar lagi.
“Katakan saja maksudmu sebenarnya, pak tua. Apa aku akan mati?’
Tawa sang kakek kembali meledak dan kali ini menguncang rawa hingga airnya bergemericik.
“Temukan sebonkah batu pualam yang terkubur disampingnya. Cucilah dengan air di garis pantai, seka perlahan dengan badan jempolmu dan yakini bersih dengan mencelupkannya sebanyak lima kali. Jangan sampai enam! Setelah itu tutuskan batu itu sebanyak dua kali ke tanah, peti itu akan terbuka dan kau akan sangat terkesan.”
“Kenapa aku harus terkesan?”
“Karena kau punya hasrat.”
Badra terdiam sejenak.
“Peti apa itu? Kuburanku?”
“Riwayatnya sudah terhenti namunumurnya belumlah tamat, “ucap kakek itu dengan nada yang kian mengecil seiring dengan mengecilnya tubuh raksasanya hingga ia menelsup masuk ke dalam tanah tanpa sedikitpun meninggalkan jejak.
“Hei tunggu!” Badra langsung mengais-kais tanah tempat si kakek itu berdiri. Berharap menemukan sisa suaranya atau seekor kutu yang terjatuh dari jenggotnya. namun Badra tak menemukan apa-apa, kecuali dirinya sendiri dan pepeohonan yang bertancapan mengurungnya.
Rawa hening. Terdengar seruan gagak terbang disekeliling.
*
Badra memandangi kaki mulus gadis yang diam dengan pandangan kosong. Satu-persatu bagian tubuhnya yang molek disimak Badra, mulai dari tepian telapak kakinya yang merah muda hingga belah rambutnya yang tergerai hitam.
“Bidadari teluk, siapakah sebenarnya engkau ini?” tanya Badra yang tak kurasa lagi ingin menyentuh kulitnya, tapi ia ragu. Takut kalau sentuhannya akan mengundang kebencian gadis itu. Dengan sangat hati-hati dan gugup, badra menyentuh pipinya lembut sementara ia masih terdiam dengan pandangan kosong.
“Apa yang harus kulakukan untuk membantu bicara, bdadari Teluk?”
Badri mulai memberanikan diri menyentuh jemari kaki dan tangan gadis itu. Sisa-sisa jelaga yang menyelimuti tubuhnya di peti itu masih menyelubungi di setiap kepitan tubuh.
Badrapun menuntun gadis itu ke gubuknya. Disana ia telah menyiapkan perapian dan membuat bara di bawah sebuah kendi raksasa yang berisi air telaga pegunungan. Ia membuat air kendi menghangat lalu menuntun gadis itu mencelupkan diri ke kendi.
Badra ingat dengan kedatangan si kakek untuk ke dua kali, kakek raksasa menyuruh badra untuk mengumpulkan kelopak mawar dan pandan sebanyak mungin untuk diendapkan selama seratus hari hingga bunga itu berlendir kehitaman. Ia juga harus mencari madu lebah untuk dioleskan ke tubuh gadis itu selama tiga hari penuh. Dan selama itu, badra tidak boleh membiarkan sang gadis bernafas dalam kegelapan. Tak ada yang dilewatkannya. Apapun dilakukan.
Sejak saat itu, hari-hari badra berlalu dengan bahagia. Hatinya tak pernah merasa sebahagian itu. Setiap kali plang dari hutan mencari buah, dedauanan, ikan dan kayu bakar, ia selalu melihat sesosok gadis elok duduk sambil mengayun-ayun kaki beranda. Melempar senyum merona. Gadis yang tak pernah mencoba melangkah keluar gubuk jika tidak bersama dirinya.
Tak ada keinginan lagi di benak Badra. Tak ada kebahagiaan yang tertinggi selain memiliki sang bidadari hingga ia sendiri ia tidak tahu mengapa ia membuat pot-pot tanah yang benyak, yang kini ditumbuhi bunga-bungaan wangi dari tangan gadis itu. Ia tidak tahu mengapa ia membuat ayunan yang landai dari akar pohon di batangan perdu. Apalagi semakin hari semakin bidadari itu menjelma menjadi manusia; dengan gerak tubuh dan mata yang tidak lagi kosong, Badra pun semakin gigih dan rela memberikan semesta alam Yang Maha Indah itu kepadanya.
“Siapa namamu, bidadari teluk?
Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Gadis itu hanya diam sambil menyantap ikan bakar yang dibakar Badra.
“Aku tidak tahu mengapa aku lakukan ini. Tapi aku sangat senang. Tapi aku heran, mengapa kau tidak mati dalam peti itu, bukankah sudah beratus-ratus tahun kau di dalamnya?”
Tiba-tiba dia menjawab, “Aku disana karena aku indah.”
Badra tertegun sejenak mendengarnya. Meski sama sekali tak mengerti maksudnya, tapi ia memaksakan mengerti.
“Kecantikan memang kadang tak terlihat, bukan? Dan terlalu mahal untuk dinikmati oleh banyak mata. Kau benar-benar anugerah. Lihat aku. Tidakkah kau tahu betapa bahagianya aku saat ini?”.
0 comments:
Post a Comment