By. Baims
Sinopsis Novel
Ayat-ayat cinta adalah sebuah novel 411 halaman yang ditulis oleh seorang novelis muda Indonesia kelahiran 30 September 1976 yang bernama Habiburrahman El-Shirazy. Ia adalah seorang sarjana lulusan Mesir dan sekarang sudah kembali ke tanah air. Sepintas lalu, novel ini seperti novel-novel Islami kebanyakan yang mencoba menebarkan dakwah melalui sebuah karya seni, namun setelah ditelaah lebih lanjut ternyata novel ini merupakan gabungan dari novel Islami, budaya dan juga novel cinta yang banyak disukai anak muda.
Dengan kata lain, novel ini merupakan sarana yang tepat sebagai media penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam, khususnya buat para kawula muda yang kelak akan menjadi penerus bangsa.Novel ini bercerita tentang perjalanan cinta dua anak manusia yang berbeda latar belakang dan budaya; yang satu adalah mahasiswa Indonesia yang sedang studi Universitas Al-Azhar Mesir, dan yang satunya lagi adalah mahasiswi asal Jerman yang kebetulan juga sedang studi di Mesir.
Kisah percintaan ini berawal ketika mereka secara tak sengaja bertemu dalam sebuah perdebatan sengit dalam sebuah metro (sejenis trem).
Mein Neim Ist Aisha
Pada waktu itu, si pemuda yang bernama lengkap Fahri bin Abdullah Shiddiq, sedang dalam perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terletak di Shubra El-Kaima, ujung utara kota Cairo, untuk talaqqi (belajar secara face to face pada seorang syaikh) pada Syaikh Utsman Abdul Fattah, seorang Syaikh yang cukup tersohor di seantero Mesir. kepadanya Fahri belajar tentang qiraah Sab'ah (membaca Al-Qur'an dengan riwayat tujuh imam) dan ushul tafsir (ilmu tafsir paling pokok). Hal ini sudah biasa dilakukannya setiap dua kali seminggu, setiap hari Ahad/Minggu dan Rabu. Dia sama sekali tidak pernah melewatkannya walau suhu udara panas menyengat dan badai debu sekalipun. Karena baginya itu merupakan suatu kewajiban karena tidak semua orang bisa belajar pada Syaikh Utsman yang sangat selektif dalam memilih murid dan dia termasuk salah seorang yang beruntung.
Di dalam metro, Fahri tidak mendapatkan tempat untuk duduk, mau tidak mau dia harus berdiri sambil menunggu ada kursi yang kosong. Kemudian ia berkenalan dengan seorang pemuda mesir bernama Ashraf yang juga seorang Muslim. Merteka bewrcerita tentang banyak hal, termasuk tentang kebencian Ashraf kepada Amerika. Tak berapa lama kemudian, ada tiga orang bule yang berkewarganegaraan Amerika (dua perempuan dan satu laki-laki) naik ke dalam metro. Satu diantara dua perempuan itu adalah seorang nenek yang kelihatannya sudah sangat lelah. Biasanya orang Mesir akan memberikan tempat duduknya apabila ada wanita yang tidak mendapatkan tempat duduk, namun kali ini tidak. Mungkin karena kebencian mereka yang teramat sangat kepada Amerika. Sampai pada suatu saat, ketika si nenek hendak duduk menggelosor di lantai, ada seorang perempuan bercadar putih bersih yang sebelumnya dipersilahkan Fahri untuk duduk di bangku kosong yang sebenarnya bisa didudukinya, memberikan kursinya untuk nenek tersebut dan meminta maaf atas pwerlakuan orang-orang Mesir lainnya. Disinilah awal perdebatan itu terjadi.
Orang-orang Mesir yang kebetulan mengerti bahasa Inggris merasa tersinggung dengan ucapan si gadis bercadar. Mereka mengeluarkan berbagai umpatan dan makian kepada sang gadis, dan ia pun hanya bisa menangis. Kemudian Fahri berusaha untuk meredakn perdebatan itu dengan menyuruh mereka membaca shalawat Nabi karena biasannya dengan shalawat Nabi, orang Mesir akan luluh kemarahannya dan ternyata berhasil. Lalu ia mencoba menjelaskan pada mereka bahwa yang dilakukan perempuan bercadar itu benar, dan umpatan-umpatan itu tidak layak untuk dilontarkan. Namun apa yang terjadi, orang-orang Mesir itu kembali mrah dan meminta Fahri untuk tidak ikut campur dan jangan sok alim karena juz Amma saja belumtentu ia hafal. Kemudian emosi mereka mereda ketika Ashraf yang juga ikut memaki perempuan bercadar itu, mengatakan bahwa Fahri adalah mahasiswa Al-Azhar dan hafal Al-Qur'an dan juga murid dari Syaikh Utsman yang terkenal itu. Lantas orang-orang Mesir itu meminta maaf pada fahri. Fahri kemudian menjelaskan bahwasanya mereka tidak seharusnya bertindak seperti itu karena ajaran Baginda Nabi tidak seperti itu. Lalu ia pun menjelaskan bagaimana seharusnya bersikap kepada tamu apalagi orang asing sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Mereka pun mengucapkan terima kasih pada fahri karena sudah megingatkan mereka. Sementara itu, si bule perempuan muda, Alicia, sedang mendengarkan penjelasan tentang apa yang terjadi dari si perempuan bercadar dengan bahasa Inggris yang fasih.Kemudian Alicia berterima kasih dan menyerahkan kartu namanya pada Fahri. Tak berapa lama kemudian metro berhenti dan perempuan bercadar itupun bersiap untuk turun. Sebelum turun ia mengucapkan terima kasih pada Fahri karena sudah menolongnya tadi. Akhirnya mereka pun berkenalan. Dan ternyata si gadis itu bukanlah orang Mesir melainkan gadis asal Jerman yang sedang studi di Mesir. Ia bernama Aisha.
Maria, Gadis Koptik yang Aneh
Di Mesir, Fahri tinggal bersama dengan keempat orang temannya yang juga berasal dari Indonesia, yaitu Saiful, Rudi, Hamdi dan Misbah. Fahri sudah tujuh tahun hidup di Mesir. Mereka tinggal di sebuah apartemen sederhana yang mempunyai dua lantai, dimana lantai dasar menjadi tempat tinggal Fahri dan empat temannya, sedangkan yang lantai atas ditempati oleh sebuah keluarga Kristen Koptik yang sekaligus menjadi tetangga mereka. Keluarga ini terdiri dari Tuan Boutros, Madame Nahed, dan dua orang anak mereka - Maria dan Yousef. Walau keyakinan dan aqidah mereka berbeda, namun antara keluarga Fahri (Fahri dkk) dan keluarga Boutros terjalin hubungan yang sangat baik. Di Mesir, bukanlah suatu keanehan apabila keluarga Kristen koptik dan keluarga Muslim dapat hidup berdampingan dengan damai dalam masyarakat. Keluarga ini sangat akrab dengan Fahri terutama Maria. Maria adalah seorang gadis Mesir yang manis dan baik budi pekertinya. Kendati demikian, Fahri menyebutnya sebagai gadis koptik yang aneh, karena walaupun Maria itu seorang non-muslim ia mampu menghafal dua surah yang ada dalam Al-Quran dengan baik yang belum tentu seorang Muslim mampu melakukannya. Ia hafal surat Al-Maidah dan surah Maryam. Fahri juga baru mengetahuinya ketika mereka secara tak sengaja bertemu di metro. Seluruh anggota keluarga Boutros sangat baik kepada Fahri dkk. Bahkan ketika Fahri jatuh sakit pun keluarga ini jugalah yang membantu membawa ke rumah sakit dan merawatnya selain keempat orang teman Fahri. Apalagi Maria, dia sangat memperhatikan kesehatan Fahri.
Keluarga ini juga tidak segan-segan mengajak Fahri dkk untuk makan di restoran berbintang di tepi sungai Nil,kebanggaan kota Mesir, sebagai balasan atas kado yang mereka berikan. Pada waktu itu Madame Nahed berulang-tahun dan malam sebelumnya Fahri dkk memberikan kado untuknya hanya karena ingin menyenangkan hati beliau karena bagi Fahri menyenangkan hati orang lain adalah wajib hukumnya. Setelah makan malam, tuan dan nyonya Boutros ingin berdansa sejenak. Madame Nahed meminta Fahri untuk mengajak Maria berdansa karena Maria tidak pernah mau di ajak berdansa. Setelah tuan dan nyonya Boutros melangkah ke lantai dansa dan terhanyut dengan alunan musik yang syahdu, Maria pun memberanikan diri mengajak Fahri untuk berdansa, namun Fahri menolaknya dengan alasan Maria bukan mahramnya kemudian menjelaskannya dengan lebih detail. Begitulah Fahri, ia selalu berusaha untuk menjunjung tinggi ajaran agama yang dianutnya dan selalu menerapkannya dalm kehidupan sehari-hari.
Si Muka Dingin Bahadur dan Noura yang Malang
Selain bertetangga dengan keluarga Boutros, Fahri juga mempunyai tetangga lain berkulit hitam yang perangainya berbanding 180 derajat dengan keluarga Boutros. Kepala keluarga ini bernama Bahadur yang terkenal dengan julukan si Muka Dingin karena ia selalu berperangai kasar kepada siapa saja bahkan dengan istrinya madame Syaima dan putri bungsunya Noura. Bahadur dan istrinya mempunyai tiga orang putri, Mona, Suzanna, dan Noura. Mona dan Suzanna berkulit hitam namun tidak halnya dengan Noura, dia berkulit putih dan berambut pirang. Hali inilah yang membuat Noura dimusuhi keluarganya yang pada akhirnya membuat dirinya tercebur kedalam penderitaan yang amat sangat.
Bahadur mempunyai watak yang keras dan bicaranya sangat kasar, Nouralah yang selalu menjadi sasaran kemarahannya. Dan kedua orang saudaranya yang juga tidak menyukai Noura mengambil kesempatan ini untuk ikut-ikutan memaki dirinya. Sampai tibalah pada suatu malam yang tragis dimana Bahadur menyeret Noura ke jalanan dan punggungnya penuh dengan luka cambukan.
Hal ini sudah sering terjadi, namun malam itu yang terparah. Tak ada satu orang pun yang berani menolong. Selain hari sudah larut, Bahadur juga dikenal amat kejam. Akhirnya, karena sudah tak tahan lagi melihat penderitaan Noura, Fahri pun meminta bantuan Maria melaui sms untuk menolong Noura. Awalnya Maria menolak karena tidak mau keluarganya terlibat dengan keluarga Bahadur. Namun setelah Fahri memohon agar Maria mau menolongnya demi kecintaan Maria terhadap Al-Masih, Maria akhirnya luluh juga. Jadilah malam itu Noura menginap di rumah keluarga Boutros. Malam ini jualah yang akhirnya menghantarkan Fahri ke dalam penderitaan yang amat sangat dan juga membuatnya hampir kehilangan kesempatan untuk hidup di dunia fana ini.
Dalam cerita ini terlihat penulis berusaha menebarkan banyak hikmah dalam tiap-tiap kejadian-kejadian yang menimpa Fahri (tokoh utama dalam buku ini). Bahkan muatan informasi mengenai tata cara/adab-adab di dalam Islam diselipkan dengan cerita yang mengalir tanpa pembaca merasa sedang di ceramahi oleh seorang sarjana Kairo namun terhanyut dengan aliran cerita tadi. Novel ini juga disertai catatan-catatan kaki yang menjelaskan beberapa dalil hingga bisa dibedakan apakah ini sebuah syair atau hadits juga menjelaskan terjemahan bahasa asing yang dipakai dalam percakapan dalam novel ini ketika sang pelaku menggunakan bahasa selain Indonesia seperti bahasa Arab dan Jerman.
Diantara informasi baru yang saya dapat di buku ini adalah mengenai kondisi dan perilaku penduduk mesir. Kang Abik yang kebetulan bersekolah di Mesir tentunya mengenal mengenai kelakuan para penduduk negara di bagian utara benua Afrika ini dan ini ditambahkan juga mengenai bagusnya penggambaran suasana lokasi tempat para tokoh berada, seakan-akan Kang Abik menarik pembaca ke dalam lokasi yang sama. Pembaca bisa menemukan Insipirasi baru ketika melihat perilaku Fahri seperti bagaimana Ia berinteraksi dengan penduduk lokal, termasuk tetangga dan juga istrinya. Untuk hal yang terakhir sepertinya ada buku khusus yang berkaitan dengan hal ini yang lebih tepat untuk dibaca, novel ini (mudah-mudahan) bisa jadi sebagai starter untuk pembaca agar mencari teori khusus tersebut lebih lanjut. Betapa lemah lembutnya seorang Fahri memuliakan istrinya dan bagaimana kasih sayang yang telah berada dalam kecintaan kepada Sang Maha Pencipta.
Tokoh Fahri mungkin bagi sebagian orang menyebutnya sebagai tokoh yang sempurna. Sempurna seakan-akan tidak ada orang yang bisa menyaingi karakter beliau atau bahkan keberuntungan beliau. Lihatlah seperti apa kapasitas beliau dan bagaimana ketika Ia bisa menguasai beberapa bahasa, bagaimana ia berhasil memiliki kuliah yang sukses dan rumah tangga yang harmonis dengan istri yang mungkin diidamkan oleh banyak pria, dari 4 hal yang di pesankan Rasulullah SAW sang istri bisa memiliki ke-empat-empat-nya.
Namun, disitulah mungkin salah satu nilai lebih dari cerita ini, bahwa sang penulis berusaha melukiskan buah perjuangan seseorang kelak akan dipetik dan dinikmati oleh orang itu juga. Hikmah inilah salah satunya yang saya tangkap, ketika seseorang berusaha dengan tulusnya membantu orang lain maka ia akan mendapat balasannya. Semangat itulah yang saya lihat menonjol pada karakter sang Fahri, membantu dan terus membantu…Masih ada sisi lemah dari tokoh ini yang membuat saya berpikir bisa saja tokoh seperti Fahri ini ada dan dikatakan menjadi realistis (*apa realistis harus diartikan tidak sempurna-sempurna amat ??), tapi hal ini justru semakin menambah indahnya skenario cerita. Lihatlah bagaimana seoarang Fahri kemudian jatuh sakit, dan bagaimana kemudian ia menemukan kesulitan-kesulitan dalam hidupnya setelah menjalani rumah tangga, bagaimana lika-liku kisah cintanya. Menurut saya itu adalah sebuah kelemahan yang berusaha di isyaratkan sang penulis dibalik kuatnya karakter seseorang. Termasuk mengingatkan kepada para pembaca untuk senantiasa berdialog dengan sang Kholik dan semakin intense dalam berkomunikasi dalam keadaan apapun.
Sayang sang penulis tidak bercerita dari mana Fahri mendapatkan bakat bersosialisasi seperti itu selain sedikit clue mengenai buku Abbas As-siisiy. Tapi itu belum cukup, lalu bagaimana ia bisa mengenal sekian banyak orang, ketua-ini, pemimpin-itu jika ia tidak memiliki latar belakang tertentu. Hehe… Tidak semuanya harus diceritakan memang…
Mengenai salah ketik saya masih temukan di cetakan ke-27 ini. Ada ketidak konsistenan dalam penyebutan nama arab: “syathiri” ada yang di tulis sebagai “syatiri”. Atau “ketika Maria menghampiri Maria”. Tapi apalah kesalahan ini dibanding indahnya semua rangkaian kisah di novel ini. Tapi gak perlu di perpanjang, lihat sisi lainnya. Anggaplah seperti melihat sebuah jerawat kecil di pipi kulit wajah yang putih berseri kalo kyai kondang dari Geger Kalong pernah berujar kurang lebih seperti itu.
Mengenai kepandaian Kang Abik mengemas bahasa dan membuat klimaks dan antiklimaks hingga terangkai kisah yang mengalir ini saya jadi teringat beberapa bacaan yang lebih berdasar dan realistis, yaitu buku 60 Kisah Sahabat Rasul penerbit CV Diponegoro. Kalau anda pernah membaca buku ini (sayang saya masih belum bisa melacak buku saya yang ini terakhir dipinjam siapa) anda akan seperti berada di tengah-tengah kehidupan para sahabat. Di buku yang bersampulkan coklat tua ini sang penulis bisa mengisahkan kehidupan para sahabat Rasulullah SAW tentu dengan karakter dan keistimewaan masing-masing dengan kisah yang mengalir.
Di akhir, adalah sesuatu yang menarik ketika kelak banyak orang yang bisa mengambil manfaat dari buku ini. Minimal saya bisa melihat rasa-rasa penasaran rekan-rekan di field yang akhirnya juga punya keinginan bisa membaca buku ini. Siapa tau bisa mirip-mirip kejadian sang sutradara AAC yang kemudian menghasilkan karya-karya yang menurut sutradara tersebut Islami. Amiiin…Who’s next…?
sekian ulasan mengenai novel ini. Melihat trailer film-nya, sepertinya akan ada perbedaan jika di bandingkan dari isi novel. Namun, tidak diulas dalam tulisan ini…Terima kasih dan maaf untuk hal yang tidak berkenan.
0 comments:
Post a Comment