PERKAWINAN DAN PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KHI
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
a. Perkawinan Menurut Hukum Islam
Nikah menurut lughah (bahasa) yaitu :
1) Menurut Al-sayyid Abi Bakar adalah :
وهولغة :الضم والاجتماع
"Nikah menurut bahasa adalah bercampur dan berkumpul"[1]
2) Menurut Jalaluddin al-Mahally adalah :
هولغة : الضم والوطء
"Nikah menurut bahasa bercampur dan bersenggama"[2]
3) Menurut Abdurrahman al-Jaziry adalah :
هولغة : الوطءوالاجتماع
"Nikah menurut bahasa adalah watha' atau berkumpul"[3]
4) Menurut wahbah al-Zuhaili adalah :
النكاح لغة : الضم والجمع , أوعبارةعن الوطءوالعقدجميعا
"Nikah adalah bercampur dan berkumpul atau ungkapan dari watha' dan aqad"[4]
5) Menurut Zanuddin ibn Abdul Azis al-Malibari al Fakri adalah :
وهوالغة : الضم والاجتماع
"Nikah menurut bahasa adalah gabungan atau berkumpul"[5]
6) Menurut Muhammad Ibn Muhammad al-Syaukani adalah :
النكاح لغة : الضم والتد اخل
“Nikah adalah berkumpul dan saling memasukkan”[6]
Jadi yang dimaksud dengan nikah menurut bahasa ialah bercampur, berkumpul dan bersenggama.
Menurut istilah (terminology) yaitu :
1. Menurut Zainuddin Ibn Abdul Aziz Al-Malibari al-Fakri
النكاح وشرعا : عقديتضمن إباحة وطءيلفظ أنكاح اوتزويج
“Nikah menurut istilah Syar’iyah ialah suatu aqad (transaksi) yang intinya mengandung penghalalan watha’ (persetubuhan) dengan memakai kata inkah atau tanwij”[7]
2. Menurut Abdul Hamid Hakim menjelaskan
النكاح وثرعا:عقديتضمن إباحة الملا مسة بلظ انكاح أوتزويج أومافى معناهما
“Nikah adalah aqad yang mengandung kebolehan bersenggama dengan mempergunakan lafadz-lafadz menikahkan atau mengawinkan atau lafadz yang semakna dengan itu”.[8]
3. Menurut Prof. Mahmud Yunus dalam bukunya Hukum Perkawinan dalam Islam menyatakan bahwa perkawinan adalah “Hubungan Seksual”.[9]
4. Menurut Muhammad al-Khatib al-Syarbainy dalam kitabnya yaitu muqny al-Muhtaj adalah :
النكاح وثرعا : عقد يتضمن إباحة وطء بلفظ أنكاح اوتزويج أوترجمته
“nikah menurut Syar’ adalah aqad yanmg mengandung kebolehan bergaul (watha’) dengan lafadz nikah, tazwij atau terjemahnya”.[10]
5. Menurut sebahagian fuqaha’
يعرفه بعض الفقهاء بأ نه عقد يفيد حل استمتاع كل من العاقدين بالآخرعلى الوجه المشروع
“Nikah adalah aqad yang memfaedahkan boleh bergaul tiap-tiap orang yang beraqad dengan yang lainnya menurut cara yang disyariatkan”.[11]
Dari beberapa pengertian nikah di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah aqad yang mengandung kebolehan pergaulan atau watha’ antara laki-laki dan wanita dengan menggunakan lafadz nikah, tazwij atau arti yang semaknanya.
b. Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Peraturan yang mengatur masalah perkawinan secara tekstual telah di atur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya adalah PP No. 9 tahun 1975. dengan keluarnya PP No. 9 tahun 1975 tersebut, maka berlakulah Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan secara efektif berlaku tanggal 1 oktober 1975.
Perkawinan menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang dinyatakan dalam pasal 1 “pekawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[12]
a. Digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara barat.
b. Digunakannya ungkapan “sebagai suami istri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”
c. Dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.
d. Disebutkannya berdasarkan ketuhanan yang maha esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.[13]
Dengan demikian defenisi perkawinan yang diungkapkan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 interprestasi dari hakikat perkawinan dalam Islam.
Kemudian dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa perkawinan miitsaaqan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
2. Dasar Hukum Perkawinan
Pada dasarnya hukum perkawinan itu adalah dianjurkan(sunnah), meskipun demikian ulama fiqh berpendapat bahwa hukum perkawinan bagi setiap orang bisa berbeda apabila dilihat dari segi keadaan orang tersebut, baik dari segi lahir dan batin. Sehingga hukum perkawinan dapat di bagi kepada :
1. wajib
2. sunnah
3. haram
4. makruh,dan
5. mubah.[14]
Adapun landasan dasar dari perkawinan itu dapat dilihat ayat dan hadits berikut ini :
1. Surat Ar-rad ayat 38
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”[15]
Dari ayat di atas menunjukkan kepada kita bahwa bukan saja dianjurkan untuk menikah kepada kita sebagai manusia biasa tapi para para Rasul Allah pun mereka menikah, karena mereka juga sebagai seorang manusia biasa mereka juga membutuhkan pasangan/pendamping hidupnya.
2. Surat An-nahl ayat 72
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"[16]
3. Surat ar-rum ayat 21
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.[17]
4. Surat Adz-Dzariat ayat 49
Kata أزواجا pada surat an-nhl ayat 72 dan kata أزواجا dalam surat arum ayat 21 serta kata زوجين dalam surat adz-zariyat ayat 49 di atas menunjukkan bahwa perkawinan merupakan syari’at agama Islam yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT kepada para pemuda yang telah mampu dalam rangka untuk melanjutkan keturunan.
5. Surat An-nur Ayat 32
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.[19]
Pada surat An-nur ayat 32 di atas Allah memerintahkan kepada para wali untuk menikahkan orang-orang yang masih sendiri atau orang-orang yang masih belum punya pasangan diantara mereka, karena kepada mereka Allah telah menjamin rizki mereka dengan karunia-Nya..
Sehubungan dengan itu juga terdapat dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Mutafaqqun alaih
عن عبد الله بن مسعود رضى الله تعا لى قال.لنا رسول لله ص.م : يامعشرالشبا ب من اشتطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
“ Dari Abdullah bin mas’ud r.a beliau berklata : Rasulullah SAW bersabda : wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu sekalian sudah mampu kawin, maka hendaklah ia kawin karena sesungguhnya perkawinan itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan dan barang siapa yang belum mampu maka hendaklah mereka berpuasa, karena dengan berpuasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang”.[20]
Kemudian dalam riwayat lain mutafaqqun alaih yang lainnya menyatakan sebagai berikut :
حديش أنس رضي الله عنه : أن نفرا من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم سألوا أزواج النبي صلى الله عليه وسلم عن عمله في السرفقا ل بعضهم لا أتزوج النساء وقال بعضهم لا اكل الحم وقال بعضهمالا أنام على فراش فحمدالله وأثنى عليه فقال ما بال أقوام قالوا كذاوكذا لكني أصلي وأنام وأصوم وأفطروأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني.
”Dari anas bin malik r.a (katanya) : “ sesungguhnya beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum bertannya kepada istri-istri nabi SAW mengenai amalan yanmg beliau lakukan secara diam-diam. Maka ada diantara mereka yang berkata bahwa dia tidak akan kawin. Ada juga yang berkata bahwa dia tidak makan daging dan ada pula yang mengatakan bahwa dia tidak akan pernah tidur di atas hamparan. Mendengar semua itu Nabi SAW, memuji kepada Allah dan bertanya: “bagaimana keadaan kaum itu? Mereka menjawab begini dan begitu. Sesungguhnya aku mendirikan shalat, dan aku juga tidur, aku berpuasa, berbuka dan aku juga kawin, barang siapa yang tidak mau mengikuti sunnahku , maka dia tidak termasuk giolonganku”(H.R Mutafaqqun alaih).[21]
Dari dalil-dalil yang telah penulis sebutkan di atas menunjukkan bahwa adanya anjuran dan perintah kepada manusia untuk melaksanakan perkawinan dalam rangka mendapatkan ketenangan jiwa untuk mencapai rumah tangga yang Sakinah, dimana anggota keluarga hidup dalam keadaan tenang dan tentram, seia sekata, eayun selangkah, ada sama dimakan kalau tidak sama dicari. Mawaddah, dimana kehidupan anggota keluarga dalam suasana kasih mengasihi, butuh membutuhkan, hormat menghormati sama lainnya. dan Rahmah, dimana pergaulan anggota keluarga dengan sesamanya saling menyayangi, cinta mencintai, sehingga kehidupan diliputi rasa kasih sayang.[22]
Di Indonesia masalah perkawinan ini juga telah di atur dalam undang-undang tersendiri yaitu undang-undang No. 1 tahun 1974 yang pelaksanaannya di atur dalam PP. No. 9 tahun 1975. Disamping itu juga yang menjadi dasar perkawinan itu adalah Inpres TAHUN 1991 tentang Komplasi Hukum Islam/KHI.
B. Urgensi Pencatatan Perkawinan
Pada dasarnya pasangan laki-laki dan wanita dapat melansungkan perkawinan, namun dalam melangsungkan perkawinan mereka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.[23] Walaupun dalam ajaran Islam apabila telah dipenuhi rukun dan syarat dari perkawinan itu sendiri perkawinan sudah sah dan dapat dilansungkan, tapi semua itu tidak akan menjadi perkawinan antar insan Islam khususnya di Indonesia akan berjalan dengan lancar dengan tiada kendala. Sebab orang bisa saja melakukan perkawinan menurut seenak hati mereka saja asal rukun dan syarat dari perkawinan itu sudah dipenuhi dengan tiada memperhatikan dan mempertimbangkan kesucian dan hak-hak orang lain yang tertindas dan terhalangi.
Oleh karena itu untuk menghindari kejadian-kejadian itu terjadi maka dewasa ini sangat diperlukan sekali syarat lain yang dapat menghalangi dan menghindari hal itu terjadi. Syarat tersebut berupa syarat formal yaitu melakukan pencatatn dalam perkawinan dengan mengeluarkan akta nikah. Pencatatan perkawinan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sebagai bukti atas perbuatan hukum (perkawinan) dari seorang laki-laki dan perempuan.
Diantara peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan adalah :
- Undang-undang No. 1 Tahun 1974[26]
Di dalam pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa :
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974[27]
Pada pasal 2 ayat 1 dinyatakan bahwa : “Pencatatn perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatn Nikah, Talak dan Rujuk”.
Kemudian dalam pasal 11 ayat 3 dinyatakan : “Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi”. Selanjutnya dalam pasal 13 ayat 2 disebutkan : kepada suami istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
- Kompilasi Hukum Islam (KHI)[28]
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 dijelaskan tentang pencatatan perkawinan yaitu :
(1) Agar terjami ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus di catat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang no. 22 tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Sedangkan bagaimana teknis dalam pelaksanaannya dijelaskan dalam pasal 6 KHI yang menyebutkan :
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
4. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)[29]
Di dalam pasal 100 kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dikatakan bahwa, adanya suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain, melainkan dengan akta perlangsungan perkawinan itu, yang telah dibuktikan dalam register-register catatan sipil, kecuali dalam hal-hal teratur dalam pasal-pasal berikut.
Pasal 101 BW, apabila ternyata, bahwa register-register itu tak pernah ada, atau telah hilang, atau ada pula akta perkawinan yang tak ada didalamnya, maka terserah pada pertimbangan hakim soal cukup atau tidaknya bukti-bukti tentang adanya perkawinan itu, asal saja hubungan selaku suami istri jelas nampaklah adanya.
Pasal 102 BW, keansahan seorang anak tak dapat disangkal karena tak dapat diperlihatkannya akta perkawinan kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia, apabila anak itu telah memperlihatkan kedudukannya sebagai anak sesuai dengan akta kelahiran dan kedua orang tuanyapun secara terang-terangan telah hidup bersama selaku suami istri.
Jika diperhatikan pencatatan perkawinan itu mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Tujuan utama dari pencatatan perkawinan adalah untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, jika terjadi perselisihan dan percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan dan memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.[30]
Salah satu tujuan dari pencatatan perkawinan itu juga agar peristiwa perkawinan itu menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena peristiwa perkawinan itu dapat dibaca dalamn suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam daftar khusus yang disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan terutama sebagai alat bukti tertuls yang autentik.[31] Dengan adanya alat bukti tertulis tersebut, akan bisa mencegah maksud-maksud jahat orang lain yang ingin melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Jadi, masalah pencatatan perkawinan itu merupakan suatu hal yang sangat penting artinya. Meskipun Al-qur’an dan Sunnah secara konkrit tidak mengatur tentang pencatatan perkawinan ini, tetapi tuntutan perkembangan zaman menghendaki akan adanya pencatatan perkawinan tersebut dengan pertimbanan kemaslahatan. Karena pencatatan perkawinan itu memiliki manfaat preventif, untuk menanggulangi agar tidak terjadi tuntutan dari orang yang tidak mengakui akan adanya atau telah terjadinnya perkainan tersebut. Surat resmi yang dikeluarkan oleh lembaga pencatatan perkawinan tesebut dapat menjadi alat bukti tertulis tenatang telah terjadinya perkawinan tersebut dan mempunyai kekuatan hukum.
Kemudian tujuan lain dari pencatatan perkawinan ini adalah :
1. Sebagai alat bukti bagi anak-anaknya di kemudian hari, apabila timbul sengketa baik antara anak kandung maupun anak tiri.
2. Sebagai dasar pembayaran tunjangan istri atau suami, bagi pegawai negeri sipil.[32]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami betapa pentingnya pencatatan perkawinan tersebut demi kemaslahatan masyarakat, karena pencatatan perkawinan yang diikuti dengan sebuah akta nikah memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan.
C. Prosedur Pencatatan Perkawinan
1. Petugas Pencatatan
a. Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
PPN adalah Singkatan dari Pegawai Pencatat Nikah, PPN adalah pegawai negeri yang diangkat berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 pada tiap-tiap Kantor Urusan Agama Kecamatan. PPN mempunyai kedudukan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan kita dan sejak keluarnya UU No. 22 Tahun 1946 sampai sekarang. PPN adalah satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilansungkan menurut agama Islam dalam wilayahnya.
Menurut pasal 1 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1946 PPN diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya.
b. Wakil Pegawai Pencatat Nikah (wakil PPN)
Wakil PPN adalah pegawai negeri yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama sebagai wakil Pegagai Pencatat Nikah untuk membantu kelancaran pelayanan PPN kepada masyarakat dalam melakukan pengawasan nikah dan rujuk. Apabila PPN tidak ada atau berhalangan, pekerjaannya dilakukan oleh wakil PPN. Apabila wakil PPN itu lebih dari satu orang maka kepala PPN menetapkan salah satu dari wakil PPN untuk melaksanakan tugas PPN.
c. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (pembantu PPN)
Pembantu PPN adalah orang yang ditunjuk dan diberhentukan oleh Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Bidang Bimas Islam/Bidang Bimas dan Bimbingan Islam atas nama Kepala Kantor Wilayah Departemnen Agama Propinsi berdasarkan usul Kepala Seksi Urusan Agama Islam/Seksi Bimas Islam atas nama Kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya setelah mendengar pendapat Bupati/Walikotamadya kepala daerah setempat.
Sejak berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 tenytang Peradilan Agama, maka PPN dan Pembantu PPN hanya mengawasi nikah dan menerima pemberitahuan rujuk saja, karena cerai talak dan cerai gugat harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama dan sekaligus mengeluarkan akta cerai talak dan cerai gugat.[33]
2. Proses Pencatatan Perkawinan
Melihat ketentuan-ketentuan tata cara perkawinan, ternyata tatacara perkawinan erat kaitannya dengan pencatatn perkawinan, yaitu setiap perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan harus dicatat meurut perundang-undangan yang berlaku.
Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut, maka proses perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Pemberitahuan Kehendak Nikah
Dalam pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 ditatapkan bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
Yang dimaksud dengan pemberitahuan adalah pemberitahuan seseorang yang akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Pemberitahuan tersebur dalam pasal 3 ayat (2) PP No. 9 tahun 1975 ditentukan paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Namun ada pengeculaiannya terhadap jangka waktu tersebut karena suatu alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.[34]
Dalam pemberitahuan tentang maksud untuk melangsungkan perkawinan itu, harus dinyatakan pula tentang nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman kedua calon mempelai. Dalam hal salah seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin, harus disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu. Khusus bagi yang beragama Islam harus diberitahukan tentang wali nikah.
b. Pemeriksaan Nikah
Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, prosedur selanjutnya diadakan penelitian yang dilakuakn Pegawai Pencatat Perkawinan. Sesuai pasal 6 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 Pegawai Pencatat meneliti dan memeriksa apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan baik menurut hukum munakahat maupun perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya setelah diadakan penelitian yang sebaik-baiknya, dalam hal ini tentunya Pegawai Pencatat harus bertindak aktif artinya tidak menrima saja yang dikemukakan oleh pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu, maka Pegawai Pencatat menulis dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
Apabila dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang perkawinan dan atau belum dipenuhinya persyaratan dalam pasal 6 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975, keadaan itu harus segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada walinya.
c. Pengumuman Kehendak Nikah
Kehendak nikah diumumkan oleh PPN/Pembantu PPN atas pemberitahuan yang diterimanya setelah segala persyaratan atau ketentuan dipenuhiu dengan menempelkan surat pengumuman (Model Ne).
Pengumuman dilakukan :
1) Di kantor pencatatan pernikahan yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya pernikahan.
2) Di kantor pencatatan pernikahan yang mewilayahi tempat tinggal masing-masing calon mempelai.[35]
PPN/Wakil PPN/Pembantu PPN tidak boleh meluluskan akad nikah sebelum lampau sepuluh hari kerja sejak pengumuman, keculai seperti apa yang diatur dalam pasal 3 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975.[36]
Adapun pengumuman tersebut bertujuan agar masyarakat umum mengetahui siapakah orang-orang yang hendak menikah. Selanjutnya dengan adanaya pengumuman itu apabila ada pihak yang keberatan terhadap perkawinan yang hendak dilangsungkan maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Kantor Pencatat Perkawinan.[37]
d. Akad Nikah dan Pencatatannya
Menurut pasal 11 bahwa perkawinan dianggap telah tercatat secara resmi apabila akta perkawinan telah ditandatangani oleh kedua mempelai, dua orang saksi, pegawai pencatat dan khusus untuk yang beragama Islam juga wali nikah atau yang mewakili. Penandatanganan itu dilakukan sesaat setelah dilangsungkan upacara perkawinan, yakni sesudah pengucapan akad nikah bagi yang beraga Islam.
Akta perkawinan yang merupakan suatu akta otentik, diharuskan minimal memuat hal-hal seperti yang disebutkan oleh pasal 12 dan dalam penjelasan pasal tersebut ditambahkamn pula hal-hal lain yang juga perlu dimuatkan.
Akta tersebut dibuat rangkap dua, helai pertama oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada, sedangkan suami istri masing-masing hanya diberikan kutipannya.[38]
e. Persetujuan, Izin dan Dispensasi
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 terkandung beberapa prinsip demi terjamin cita-cita luhur dai perkawinan, yaitu azas sukarela, partisipasi keluarga, poligami dibatasi secara ketat, dan kematangan calon mempelai.
Sebagai realisasi daripada azas sukarela maka perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Oleh karena itu, setiap perkawinan harus mendapat persetujuan kedua calon suami istri, tanpa adanya paksaaan dari pihak manapun. Dengan demikian dapat menghindari kawin paksa.
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang karena ia akan menginjak dunia baru, membentuk keluarga sebagai unit terkecil dan keluarga besar bangsa Indonesia, dan sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang religius dan kekeluargaan, maka diperlukan partisipasi keluarganya untuk merestui perkawinan itu. Oleh karena itu, bagi yang berada di bawah umum 21 tahun baik pria maupun wanita diperlukan izin dari orang tua. Dalam keadaan orang tua tidak ada, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas. Izin dapat diperoleh dari pengadilan, apabila karena sesuatu dan lain hal sebab izin tersebut tidak dapat diperoleh dari wali, orang yang memlihara atau keluarga tersebut di atas.[39]
f. Penolakan Kehendak Nikah
Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah, ternyata tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan baik persyaratan menurut hukum munakahat maupun persyaratan menurut peratutran perundang-undangan yang berlaku maka PPN atau Pembantu PPN harus menolak pelaksanaan pernikahan itu, dengan cara memberikan surat penolakan kepada yang bersangkutan serta alasan-alasan penolakannya.
Berdasarkan penolakan itu yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan terhadap penolakan itu kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya.
Setelah memeriksa perkara penolakan itu dengan acara singkat (somiir) Pengadilan Agama memberikan ketetapan menguatkan penolakan atau memerintahkan agar pernikahan itu dilansungkan.[40]
g. Pencegahan Pernikahan
Pernikahan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan.
Yang dapat mengajukan pencegahan pernikahan adalah :
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah.
2. Saudara dari salah seorang calon mempelai.
3. Wali nikah.
4. Pengampu (kuratele) dari salah seorang calon mempelai.
5. Pihak yang berkepentingan.[41]
Pencegahan pernikahan diajukan kepengadilan agama dalam derah hukum di mana pernikahan itu akan dilangsungkan oleh mereka yang dapat melakukan pencegahan pernikahan.
h. Pembatalan Pernikahan
Pernikahan dapat dibatalkan apabila setelah berlangsungnya pernikahan itu diketahui adanya larangan menurut hukum ataupun peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.
Pembatalan pernikahan dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam daerah hukum tempat pernikahan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami istri, setelah menerima permohonan pembatalan pernikahan dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu :
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan suami atau istri
2) Suami atau istri
3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
4) Pejabat yang ditunjuk berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 16 ayat (2).[42]
Tata cara mengajukan permohonan pembatalan pernikahan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.
i. Biaya Pencatatan Nikah
Keputusan Menteri Agama Nomor 40 Tahun 1991 tanggal 11 maret 1991 menyebutkan bahwa ;
1) Biaya pencatatan nikah di KUA Kecamatan sebesar Rp. 3.000,00
2) Di samping biaya pencatatan nikah, yang berkepentingan membayar dana bantuan (kepada BKM dan BADKI) sebesar Rp. 7.000,00
Sementara itu berdasar pasal 22 ayat (4) Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990 tentang kewajiban PPN, yang berkepentingan membayar pula :
1) Honorarium Pembantu PPN.
2) Biaya transport PPN/Pembantu PPN apabila dikehendaki pernikahan dilaksanakan di luar KUA/Balai Nikah.
Besarnya biaya honorarium dan biaya transport tersebut ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama atas usul Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Bimbingan Masyarakat Islam/Bimbingan Masyarakat dan Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dengan persetujuan Gubernur Kepala Daerah setempat.[43]
Biaya pencatatan dibayar lansung yang oleh bersangkutan kepada bendaharawan khusus/PPN yang mencatat peristiwa nikah sesudah terjadinya akad nikah.
j. Formulir Nikah
Menurut peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 ada 16 formulir pencatatan nikah yang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Formulir pokok, yaitu formulir yang secaral lansung menjadi tanggung jawab dan dikerjakan pengisiannya oleh PPN, yaitu :
a. Akta Nikah (Model N)
b. Kutipan Akta Nikah (Model NA)
c. Daftar Pemeriksaan Nikah(Model NB )
d. Pengumuman Kehendak Nikah (Model NC ).
2. Formulir pelengkap, yaitu formulir yang merupakan kelengkapan dari pelaksanaan pernikahan dan disiapkan sebelum pelaksanaan pernikahan. Sebagian besar formulir tersebut pengisiannya dilakukan oleh Kepala desa, yaitu :
a. Surat keterangan untuk nikah (Model N1)
b. Surat keterangan asal usul (Model N2)
c. Surat persetujuan mempelai (Model N3)
d. Surat keterangan tentang orang tuya (Model N4)
e. Surat keterangan kematian Suami/Istri (Model N6)
f. Pemberitahuan kehendak nikah (Model N7)
g. Pemberitahuan adanya larangan/kekurangan syarat (Model N8)
h. Penolakan pernikahan (Model N9)
i. Buku catatan kehendak nikah (Model N10)
3. Formulir mutasi, yaitu formulir yang dipergunakan untuk memberitahukan perubahan status seseorang, kepada PPN/Pengadilan Agama yang sebelumnya telah mencatat perceraiannya, yaitu :
a. Pemberitahuan Nikah (Model ND )
k. Akta Nikah
Akta nikah merupakan suatu bukti yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukan, seperti di atur dalam pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975. Akta perkawinan memuat :[45]
1. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami istri.
2. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka;
3. Izin kawin sebagai dimaksud dalam pasal 2, 3, 4 dan 5 Undang-undang;
4. Dispensasi sebagai dimaksud dalam pasal 7(2) Undang-undang;
5. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 Undang-undang;
6. Persetujuan sebagai dimaksud dalam pasal 6 Ayat (1) Undang-undang;
7. Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/pangab bagi Angkatan Bersenjata;
8. Perjanjian perkawinan apabila ada;
9. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melaui kuasa.
Sesaat setelah dilangsungkan akad nikah, kedua mempelai menandatangani akta nikah dan salinannya yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Setelah itu, diikuti penandatanganan oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri akad nikah. Kemudian wali nikah atau yangc mewakilinya, juga ikut menandatangani. Dengan penandatanganan akta nikah dan salinannya maka perkawinan telah tercatat secara resmi dan mempunyai kekuatan hukum.
Akta nikah selain merupakan bukti otentik suatu perkawinan, ia memiliki manfaat sebagai “jaminan huku” apabila salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Akta nikah juga berguna untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu. Upaya hukum ke pengadilan tentu tidak dapat dibuktikan, apabila perkawinan tidak dibuktikan dengan akta tersebut. Oleh karena itu, pasal 7 menegaskan pada ayat 1 “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.
Adapun manfaat akta nikah yang besifat represif dapat dijelaskan sebagai berikut. Bagi suami istri yang karena suatu hal perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta nikah, KHI membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan Isbat nikah (penetapan) kepada Pengadilan Agama. Hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di dalam melangsungkan perkakawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fiqh saja, tetapi aspek keperdataan juga perlu diperhatiakn secara seimbang. Jadi, pencatatan akta nikah merupakan usaha pemerintah untum mengayomi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan.[46]
Pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
(2) Dalam Hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenanaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
b. Hilangnya Akta Nikah
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
d. Adanya perkawinan yang dilakukan sebelum lahirnya UU No. 1 Tahun 1974
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974[47]
Adapun yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah menurut ayat 4 tersebut adalah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Demikianlah gambaran tentang prosedur pelaksanaan pencatatan perkawinan, yang mana dalam prakteknya harus mengikuti segala peraturan yang telah ditentukan oleh Undang-undang perkawinan Indonesia .
[1] As-sayyid Abi Bakar, I'anat Al-thalibin, (Kairo: Masyadul Husaini, 1300 H), juz III, h. 254
[2] Jalaluddin Al-mahally, Syarah Minhaj Al-Thalibin, (Beirut : Dar al-fikri, t.th), juz III, h. 20
[3] Abdurrahman Al-jaziri, Fiqh Ala Mazahib Al-Arba'ah, (Mesir: Maktabah al-tijaiyah al-kubra, 1969), juz IV, h. 1
[4] Wahbah al-zuhaili, Al-Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, (Mesir: Dar al-fikri, 1979), h. 29
[5] Zainuddin ibn abdul azis, Fathul Mu'in II, (Bandung : Sinar baru algesindo, t.th), cet. Ke-1, h. 1154
[6] Muhammad Ibn Muhammad al-Syaukani, Nail Al-Autsar, (Mesir : Mustafa al-baby al-Halaby, 1934), Juz VI, h. 22
[7] Ibid, h. 22
[8] Abdul hamid hakim, Mu’in Al-Mubin, (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), Juz IV, h. 7
[9] M.Yunus, Hukum Perkawianan Dalam Islam, (Jakarta : Al-Hidayah, 1964), h. 1)
[10] Muhammad al-Khatib al-syarbainy, Muqny al-muhtaj, (Mesir : Dar al-Fikri, 1997), h. 123
[11] Muhammad Abu Zahrah, Al-ahwal Al-syakhsiyyah, (Kairo : Dar al-Fikri, 1957), h. 18
[12] Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, h. 1-2
[13] Amir Syarifuddin, Garis-Garis besar Fiqh, ( Bogor : Kencana, 2003), cet. 1, h. 75-76.
[14] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), jilid 4-, h. 1330
[15] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung : CV. Diponegoro, 2000), h. 203
[16] Ibid, h. 219
[17] Ibid, h. 324
[18] Ibid, h. 417
[19] Ibid, h. 282
[20] Abu Bakar Muhammad, terjemahan Subulussalam, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1995), cet. ke-1, h. 393-394.
[21] Ahmad Mudjab Mahalli, Ahmad Rodhi Hasbullah, Hadits-hadits Muttafaq ‘alaih (bagian munakahat dan muamalat), ( Jakarta : Kencana, 2004), cet. 1 h. 34
[22] Maftuh Ahnan, Rumahku Syurgaku, (Jakarta , CV. Bintang Remaja : 1995), h. 12
[23] Salim HS, Pengantar hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta ; Sinar Grafika, 2002), h. 62
[24] Nico Ngani dan I Nyoman Budi Jaya, Cara Untuk Memperoleh Akta Catatan Sipil, (Yogyakarta : liberty, 1984), cet ke-1, h.1
[25] Victor Situmorang dan Cormentyna, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1991), cet. Ke-1, h. 52
[26] Undang-Undang Pokok Perkawinan, op.cit, h. 2
[27] Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 ( Jakarta : Sinar Grafika)
[28] Inpres No. 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Widyatama)
[29] R. Surbekti dan Tjitro Sudipyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Pratnya Paramita, 1987), h. 26
[30] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 107
[31] O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada, 1996), cet. Ke-1, h. 98
[32] Salim H.S, op.cit., h. 64-65
[33] Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta : Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, 1992-1993), h. 1-2
[34] Amiur Nuruddin dan azhari akmal tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, Uu No 1/1974 Sampai KHI), (Jakarta : Kencana, 2004), cet-1, h. 125
[35] Ibid, h. 126
[36] Pedoman P3N, Op.Cit., h. 9
[37] Amir Nuruddin, Op.Cit., h. 128
[38] K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Balai Pustaka, 1976), h.20
[39] Pedoman P3N, Op.Cit., h. 11
[40] Ibid, h. 12
[41] Ibid, h. 13
[42] Undang-undang pokok Perkawinan No. 1 tahun 1974,(Jakarata : Sinar Grafika, 2004 h. 8
[43] Pedoman P3N, op.cit., h. 14
[44] Ibid, h. 16-17
[45] Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Op.cit, h. 36-37
[46] Ahmad Rofiq, op.cit, h. 117
[47] Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, h. 12
0 comments:
Post a Comment