Related Posts with Thumbnails

Monday, February 15, 2010

NAFKAH DAN IDDAH MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Iddah Dan Nafkah
1. Pengertian Iddah
Iddah merupakan kewajiban yang harus dijalani oleh perempuan yang telah putus perkawinan. Putusnya ikatan perkawinan adalah disebabkan perceraian dan adakalanya disebabkan kematian suami. Salah satu hikmah iddah adalah untuk memelihara kemurnian nasab.
a. Secara Etimologi
Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata adda-ya’uddu – ‘idatan dan jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata (etimologi) berarti : “menghitung” atau “hitungan”.kata ini digunakan untuk maksud iddah karena dalam bahasa itu si perempuan yang ber-iddah menunggu berlalunya waktu.

Wahbah Zuhaili mengemukakan :
وَ هِيَ لُغَةً : اَلاَ حْصَاءَ, مَاخُوْذَةُ مِنَّ العَدَدِ الاِشْتِمَا لَهَا عَلَى عَدَدَ الاِقْرَاءِ اَوْ الاَشْهَرُ غَالِبًا
Artinya : “Iddah secara bahasa adalah menahan, terambil dari kata Adad (Bilangan) karena mencakup atas bilangan dari beberapa quru’ dan beberapa bulan menurut kebiasaan.”

Sayyid Sabiq memaparkan :
االعِدَّ ةُ : مَا خُوْذَةُ مِنَّ العَدَدِ. الاَحْصَاءَ : اَيِّ مَا تَحْصِيْهِ المَرْاَةِ وَتُعَدِّهِ مِنَّ الاَيَّامِ وَالاَقْرَاءِ
Artinya : “Iddah terampilan dari kata ‘Adad, artinya menghitung,
maksudnya perempuan yang menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.”

Adapun pendapat Abdurrahman Aljaziri menyebutkan:
االعِدَّةُ فِى اللُغَةُ مَا خَوْذَةُ مِنَّ العَدَدَ, فَهِىَ مَصْدَرُ سِمَاعِى لِعَدَّ, بِسِىَ اَحْصَ وَ تَطْلِقَ العِدَّةُ لُغَةَ عَلَى اَيَّامِ حَيْضِ المَرْاَةِ. اَوْ اَيَّامُ طَهَرُهُ
Artinya : “Iddah menurut bahasa berasal dari kata ‘adad yaitu masdar sima’i bagi ‘adda yang berarti menghitung. Selain itu dipakai juga istilah iddah menurut bahasa pada hari-hari haidnya seorang perempuan atau sucinya.”

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqh tersebut dapat dipahami bahwa pengertian iddah dari segi bahasa berasal dari kata ‘adda yang berarti bilangan, menghitung, dan menahan. Maksudnya perempuan menghitung hari-harinya dan masa bersihnya setelah diceraikan suaminya.
b. Secara Terminologi
Mengenai definisi iddah menurut terminologi terdapat beberapa redaksi yang berbeda dari para fuqoha’ sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Di antaranya ada yang mengemukakan defenisi iddah dengan menekankan kepada macam-macam iddah, ada yang mengutamakan tujuan dan ada yang mengedepankan sebab. Sekalipun redaksinya berbeda tapi semuanya bermuara pada tujuan yang sama.
Abi Yahya Zakaria al Anshari mengemukakan pengertian iddah menurut istilah yaitu :
وَ هِيَ مُدَّةُ تَتَرَبَّصُ فِيْهَا المَرْاَةُ لمَعْرِفَةُ بِرَاءَةِ رَحِمُهَا اَوْ للِتَعْبُدُ اَوْ لِتُفَجَعَهَا عَلَى زَوْجٍ
Artinya : “Iddah adalah masa menunggu seorang perempuan untuk mengetahui kebersihan rahimnya atau untuk melaksanakan ibadah atau untuk menghilangkan rasa duka karena kematian suami.”

Definisi iddah yang dikemukakan oleh Abi Yahya al Zakaria tersebut lebih mengutamakan tujuan iddah. Adapun tujuan iddah ini adalah untuk mengetahui kebersihan rahim seorang perempuan, untuk melaksanakan ibadah, dan untuk menghilangkan rasa duka bagi seorang perempuan yang kematian suaminya.
Sayyid sabiq memberikan definisi tentang iddah yakni :
هِيَ اِسْمُ العِدَّةُ الَّتِي تَنْتَظِرُ نِيْهَا المَرْاَةُ وَتمتنع عَنْ التَزَوِّيْجُ بَعْدَ وَفَاةَ زَوْجُهَا, اَوْ فَرَاقَ لَهَا
Artinya : “Iddah adalah nama dari suatu masa, dimana seorang perempuan dalam masa itu menunggu dan menahan diri dari melangsungkan pernikahan setelah suaminya wafat atau dicerai oleh suaminya.”
Sayyid Sabiq dalam mengemukakan pendapatnya tentang definisi iddah lebih menekankan pada sebab iddah itu sendiri di mana iddah merupakan masa menunggu bagi perempuan. Selama masa tunggu itu ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Adanya iddah itu disebabkan oleh kematian suami atau karena perceraian.
Sedangkan Ismail al-Shan’ani menjelaskan pengertian iddah sebagai berikut :
اِسْمُ لِمَدَّةِ تَتَرَبَّصُ بِهَا المَرْاَةُ عَنْ الزَوِّيْجِ بَعْدَ وَفَاةً زَوْجُهَا وَفَرَاقُهُ لَهَا اَمَّا بِالوِلاَدَةِ اَوْ الاَقْرَاءَ الاَشْهَرِ.
Artinya : “Iddah adalah suatu nama bagi masa dimana seorang perempuan menunggu atau menahan dirinya dalam masa tersebut dari melakukan perkawinan setelah suaminya wafat atau diceraikan oleh suaminya, adakalanya dengan melahirkan, beberapa quru’ atau beberapa bulan.”

Pendapat Ismail al-Shan’ani ini lebih menekankan pada macam-macam iddah, yaitu iddah yang dihitung dengan quru’ dan dihitung dengan bulan, serta iddah yang berakhir dengan melahirkan.
Sementara itu ulama Hanafiah sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahman Al-jaziri berpendapat bahwa defenisi iddah adalah:
اِنَّهَا تَرَبَّصُ مَدَّةُ مَعْلُوْ مَةُ تَلْزِمَ المَرْاَةُ بَعْدَ زَوْالُ النِّكَاحِ صَحِيْحًا اَوْ بِشَبِّهَةِ اِذَا تَا كِدُ بِالدُخُوْلِ اَوْ المَوْتِ
Artinya : “Iddah adalah masa menunggu bagi seorang perempuan yang harus dilaksanakannya setelah putusnya perkawinan, baik perkawinan secara sah atau pun secara shubhat atau apabila ia yakin telah terjadi dukhul atau karena kematian.”

Menurut ulama Hanafiah, iddah diwajibkan karena putusnya suatu perkawinan secara sah atau shubhat dengan syarat telah terjadi hubungan suami istri (dukhul)
Beranjak dari beberapa definisi yang dipaparkan oleh para ulama tersebut dapat dirumuskan bahwa iddah menurut syariat Islam ialah masa tunggu bagi seorang perempuan yang pada masa tersebut ia dilarang kawin dengan laki-laki lain. Masa tunggu ini dijalani karena ada sebab, yaitu istri yang ditalaq oleh suaminya dan telah digauli atau istri yang ditinggal mati oleh suaminya.

2. Pengertian Nafkah
Hidup merupakan suatu rahmat yang diberikan oleh Allah SWT, untuk mempertahankan hidup diperlukan kebutuhan yang harus dipenuhi, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani. Mengenai kebutuhan jasmani diperlukan makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Sebagai kebutuhan rohani salah satunya mengangkat tentang menyalurkan hawa nafsu sekaligus dengan jalan perkawinan. Kebutuhan tersebut di atas disebut kebutuhan lahir dan batin.
Bila berbicara tentang nafkah, berarti membicarakan sesuatu aspek penting yang harus dipenuhi dalam kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan berkeluarga. Hal ini menuntut agar orang mengetahui arti nafkah itu sendiri.
Untuk mengetahui maksud dan arti nafkah itu, penulis akan mengemukakan pengertian nafkah dari beberapa pendapat ulama. Pengertian nafkah tersebut dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan dari segi istilah.
1. Pengertian nafkah dari segi bahasa
النَفَقَةُAdalah masdar mujarad yang di ambil dari kataاالاَنْفَاقُ (masdar mazid). Secara etimologالنَفَقَةُ . Nafkah dapat diartikan sebagai berikut:
االنَفَقَةُ فِى اللُغَةُُ : الاَ خْرَاجَ وَ الذَهَابَ يُقَالُ تَفَقَّتُ الدَابَّةُ خَرَجَتْ مِنْ مَلِكُ صَا حِبَطُ بِا لبَيْعِ اَوْالهَلاَكِ كَمَا يُقَالُ نَفَقَتْ السلعة اِذَا رَاحَتَ بِا لبَيْعِ.
Artinya : nafkah menurut bahasa adalah : mengeluarkan dan pergi.dikatakan : saya menafkahkan ternak “apabila ia (ternak telah keluar dari pemilikkan nya), menjual atau merusaknya sebagai mana dikatakan : “saya menafkahkan benda ini” apabila ia benda ini habis terjual.


Menurut luis al – Ma’luf adalah :
االنَفَقَةُ اِسْمُ مِنْ الاَنْفَاقُ مَا تَنْفَقُهُ مِنْ الدَرَاهِمِ
Artinya : Nafkah adalah suatu nama dari pengeluaran yaitu membelanjakan uang

Berpedoman pada uraian di atas maka dapat dipahami bahwa nafkah menurut bahasa adalah membelanjakan uang untuk keperluan diri sendiri atau oarang lain. Abdul Hamid Hakim mengemukakan bahwa kata infaq digunakan hanya untuk yang baik – baik saja. Pengertian seperti ini juga ditemukan dalam al Qur’an :
                  

Artinya : Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak pula yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(Taubat 121)

Pada ayat di atas tersebut Allah telah mengatakan bahwa orang yang mengeluarkan nafkah akan dibalasi dengan balasan (pahala) yang lebih baik. Walaupun Allah SWT tidak menyebutkan dengan jelas ke mana harta tersebut dikeluarkan. Akan tetapi dapat di pahami bahwa pengeluaran itu adalah untuk yang lebih baik, karena amal yang dapat balasan yang lebih baik hanya amal yang baik.
2. Pengertian nafkah menurut istilah
Pengertian nafkah menurut terminologi seperti yang diungkapkan para fuqaha’ adalah sebagai berikut:
ااَخْرَاجُ الشَخَصَ مُؤْمِنَةُ مِنْ تُجَبُّ عَلَيْهِنَّ نَفَقَةُ مِنْ خَبَزَ وَ اَدَمَ وَمَسْكُنُوْا مَا يُتَبِّعُ ذَالِكَ مِنْ ثَمَنَ مَاءً وَرَهِنَ وَمُصَبَاحَ وَ نَحْوَ ذَالِكَ
Artinya : Seseorang yang wajib menafkahi orang lain, mengeluaran tanggungan berupa roti, lauk pauk, pakaian, tempat tinggal, dan apa–apa yang berhubungan dengan keperluan hidup sehari–hari, seperti air, minyak lampu, dan lain sebagainya.

Selanjutnya Sayyid Sabiq memberikan definisi nafkah sebagai berikut :
النَفَقَةُ هُنَا نَوْفَدُ مَا تَحْتَاجُ اِلَيْهِ الزَوْجَةُ مِنْ طَعَامِ وَ مَسَكِنِ وَخَزَمَةُ وَدَوَاءُ وَاَنَّ كَانَتْ غَنِيَّةُ
Artinya : Nafkah di sini diartikan dengan sesuatu yang diperlukan dari seorang istri, yang terdiri dari makanan, tempat tinggal, dan adanya pembantu rumah tangga serta biaya untuk pengobatan kalau seandainya mampu memenuhinya.

Dari berbagai defenisi di atas dapat diambil kesimpulannya bahwah nafkah adalah segala sesuatu yang punya nilai manfa’at atau nilai materi yang dapat diberikan oleh seseorang pada orang lain yang berada di bawah tanggungannya di mana dengan pemberian itu dapat mencukupi kebutuhan orang yang ditanggungnya.
Sedangkan nafkah istri adalah segala sesuatu yang punya nilai manfa’at atau nilai materi yang dapat diberikan oleh seorang suami pada istrinya dimana dengan pemberian suami tersebut ia akan dapat mempergunakannya untuk dapat mencukupi segala kebutuhan atau hajat rumah tangganya

B. Dasar Hukum Iddah
Dari defenisi iddah yang telah dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa seorang perempuan wajib menjalani iddah setelah bercerai dengan suaminya, baik perceraian karena talaq ataupun perceraian karena kematian suaminya. Adapun dalil atau alasan yang dapat dijadikan landasan mengenai iddah ini, yakni al-Quran, hadist nabi, dan ijmak ulama.
a. Dasar hukum dari firman Allah SWT dapat dilihat dalam :
1. Surat al Baqarah ayat 228
     

Artinya: “Perempuan-perempuan yang ditalaq hendaklah menunggu tiga kali quru’.”

Firman Allah SWT di atas menjelaskan kewajiban beriddah bagi perempuan yang ditalaq, yaitu tiga kali quru’. Asbabun nuzul ayat ini berkaitan erat dengan Asma binti Yazid bin Sakan al Anshariyah. Dia pada waktu diceraikan oleh suaminya di zaman Rasulullah SAW disaat itu belum ada hukum iddah bagi seorang perempuan yang dijatuhi talaq oleh suaminya. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ini sebagai ketegasan hukum bagi perempuan yang diceraikan suaminya dan untuk memberikan penjelasan tentang betapa pentingnya masa iddah sebab dengan demikian dapat diketahui apakah perempuan yang diceraikan itu dalam keadaan hamil atau tidak.
2. Surat al Baqarah ayat 234
         

Artinya : “Dan orang-orang yang meninggal di antara kamu dengan meninggalkan istri-istrinya (hendaklah para istri itu) beridah empat bulan sepuluh hari...”

Ayat di atas menjelaskan bahwa istri yang kematian suaminya wajib beridah empat bulan sepuluh hari. Kewajiban iddah ini juga berlaku terhadap perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya meskipun mereka belum bercampur sebagai suami istri.
3. Surat at talaq ayat 4
                      

Artinya : “Dan Permpuan-perempuan yang putus haid dari istri-istrimu, jika kamu ragu-ragu tentang masa iddahnya, maka iddah mereka adalah tiga bulan, begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid, dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya…”

Dari penjelasan di atas Surat at talaq ini membicarakan tentang lamanya masa iddah perempuan-perempuan yang diceraikan oleh suaminya. Perempuan yang tidak haid karena menopause atau karena masih kecil, iddahnya tiga bulan, dan perempuan yang hamil iddahnya sampai melahirkan.

b. Dasar hukum dari hadist Nabi SAW
Hadist yang berkaitan dengan iddah ini dapat dilihat dalam sabda Nabi SAW yang suaminya mauquf, yaitu :
وَعَنْ عَمْرُرَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي اَمْرَاَةٍ المَفْقُوَْدِ تَرَبَّصُ اَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُ اَرْبَعَةً اَشْهُرٍ وَعَشْرَازُ. اَخْرَجَهُ مَالِكُ وَااشَافِعِي
Artinya: “Dari Umar ra berkata : bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak menetahui di mana suaminya berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beriddah empat bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah.” (hadist riwayat Malik)

Hadist diatas mengisahkan seorang istri yang kehilangan suami. Dalam kisah tersebut dinyatakan bahwa suaminya hilang disembunyikan jin selama empat tahun. Setelah siistri mengetahui suaminya hilang, dia pergi menghadap Umar bin Khattab dan Umar menyuruh perempuan itu menunggu selama empat tahun, sesudah berlalu empat tahun, Umar memanggil wali si suami dan memerintahkanya untuk menceraikan perempuan itu sebagai wali dari suaminya. Kepada perempuan itu umar memerintahkan agar beriddah empat bulan sepuluh hari.
c. Dasar hukum dari ijmak
Berdasarkan ayat dan hadist di atas, ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa perempuan yang muslimah yang telah bercerai dengan suaminya wajib menjalani iddah.
Dengan memperhatikan firman Allah di atas dan sabda Nabi SAW, serta ulama, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap perempuan wajib menjalani masa iddah yang disebabkan oleh :

1) . Kematian suami
2) . Putusnya ikatan perkawinan dengan jalan talaq, khuluk, ataupun fasakh.
3) . Watha’ syubhat
d. Dasar Hukum Perdata
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinan.
Selanjutnya atas dasar pasal 11 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditetapkan waktu tunggu sebagai berikut :
Ayat (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
Demikian pula pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur waktu tunggu yang dituangkan pada bab VII pasal 39.
Pada pasal 153 Kompilasi Hukum Islam tentang Perkawinan dalam menentukan waktu tunggu sebagai berikut :
Ayat (1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah kecuali qobla ardhukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
Demikian pula dalam pasal 154 dan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu iddah.

C. Macam-Macam Iddah
Mengenai macam-macam iddah atau waktu tunggu menurut perundang-undangan hukum Indonesia, khususnya dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Telah memberikan klasifikasi dengan tidak menyebut suatu istilah tertentu yang dipergunakan, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa materi dari Undangundang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya merupakan cuplikan yang diambil dari norma masing-masing agama di Indonesia yang didominasi oleh aturan-aturan yang digariskan dalam syariat Islam.
Sedangkan secara spesifikasi maka macam-macam iddah itu antara lain ialah :
1. Iddah Perempuan yang Haid
Jika perempuannya bisa haid maka iddahnya tiga kali quru'. Sebagaimana firman Allah :
ءوﺮﻗ ﺔﺛﻼﺛ ﻦﻬﺴﻔﻧﺎﺑ ﻦﺼﺑﺮﺘﻳ ﺖﻘﻠﻄﻤﻟاو
Dan perempuan-perempuan yang berthalaq, hendaklah merekamenahan diri mereka tiga kali quru' (QS. Al Baqarah : 228)

Dengan ayat tersebut di atas jelaslah bahwa istri yang diceraikan oleh suaminya. Sedangkan istri tersebut belum pernah disetubuhi oleh suami yang mentalaknya, maka bagi si istri tersebut tidak mempunyai masa iddah. Sedangkan istri yang ditinggal suami dan pernah bersetubuh, maka ia harus beriddah seperti iddah orang yang disetubuhi, hal ini berdasar firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut :





Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al Baqarah : 234)

Wajib iddah bagi istri tersebut dimaksudkan untuk menghormati bekas suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq sebagai berikut : istri yang kematian suaminya wajib iddah sekalipun belum pernah disetubuhi, hal ini untuk menyempurnakan dan juga untuk menghargai hak suami yang meninggal dunia.
Istri yang telah dicerai dalam keadaan masih haid harus menjalani iddah (waktu tunggu) selama 3 (tiga) kali suci dan bila diharikan minimal 90 (sembilan puluh) hari. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam pasal 39 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975, ayat (1) sub (b) yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari”
2. Iddah istri yang tidak berhaid
Istri yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya atau ditinggalmati oleh suaminya maka mereka (istri) beriddah selama 3 bulan. Ketentuan ini berlaku buat perempuan yang belum baligh dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, baik ia sama sekali tidak berhaid sebelumnya atau kemudian berhaid akan tetapi putus haidnya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :


Dan orang-orang yang putus diantara istri-istri kamu, jika kamu ragu maka iddah mereka itu tiga bulan. Dan orang-orang yang tidak berhaid serta perempuan hamil masa iddahnya ialah sesudah mereka melahirkan (QS. Ath Thalaq : 4)

Sedangkan berdasarkan hukum perdata Indonesia maka istri tersebut harus menjalani masa tunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Ini sejalan dengan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 ayat (1) sub (b) yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”.
3. Iddah Istri yang telah disetubuhi
Iddah istri yang telah disetubuhi masih haid dan adakalanya tidak berhaid lagi. Masa iddah yang masih haid adalah selama 3 kali quru’ sebaaimana disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut :



Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah : 228)
Arti quru’ ( ءوﺮﻗ) dalam ayat di atas adalah ( ءوﺮﻗ) jamak dari kata ( ءﺮﻗ) yang berarti haid, hal ini dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim yang diterangkan oleh Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah bahwa kata quru’ hanya digunakan oleh agama yang berarti haid. Sesuai dengan firman Allah sebagai berikut :
... ةﺪﻌﻟا اﻮﺼﺣأو ﻦﻬﺗﺪﻌﻟ ﻦهﻮﻘﻠﻄﻓ ءﺎﺴﻨﻟا ﻢﺘﻘﻠﻃ اذإ ...

Massa iddah untuk istri yang telah disetubuhi tetapi tidak mengalai haid maka lama iddah 3 (tiga) bulan atau 90 hari.
4. Iddah Perempuan Hamil
Perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suami dan sedang hamil iddahnya sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah yang berbunyi sebagai berikut :

ﻦﻬﻠﻤﺣ ﻦﻌﻀﻳ نا ﻦﻬﻠﺟا لﺎﻤﺣﻻا تﻻواو

Dan Perempuan-perempuan hamil masa iddah mereka ialah sesudah melahirkan (QS. At Thalaq : 4)

Istri tersebut harus menjalani masa tunggu yakni sampai ia melahirkan bayinya. Ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 135, ayat (2), sub (c), yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila perkawinan putus karena perkawinan sedang janda tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”.
5. Iddah perempuan yang suaminya meninggal dunia
Iddah wanita yang ditinggal suaminya dan ia dalam keadaan tidak hamil maka lama iddahnya ialah 4 bulan 10 hari, ini didasarkan pada firman Allah yang berbunyi
ﻦﻬﺴﻔﻧﺄﺑ ﻦﺼﺑﺮﺘﻳ ﺎﺟاوزأ نورﺬﻳو ﻢﻜﻨﻣ نﻮﻓﻮﺘﻳ ﻦﻳﺬﻟاو
…ﺸﻋو ﺮﻬﺷأ ﺔﻌﺑرأ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari… (QS. Al Baqarah : 234)

Dan jika si istri seang hamil maka ia harus menjalani iddah atau masa tunggu sampai ia melahirkan bayinya (anaknya). Ini sejalan dengan pasal 153 ayat (2), sub (c), seperti yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang antara janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”.

D. Hak Istri Dalam Masa Iddah
Istri yang akan menjalani iddah ditinjau dari segi keadaan waktu berlangsungnya perceraian adalah sebagai berikut :
a. Kematian Suami
b. Belum dicampuri
c. Sudah dicampuri tetapi dalam keadaan hamil
d. Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah berhenti haidnya.
e. Sudah dicampuri, tidak dalam keadaan hamil, dan masih dalam masa haid.

Istri yang berada dalam masa iddah menjadi tanggung jawab suaminya, baik mengenai nafkah maupun tempat tinggal. Hak yang diterima oleh istri yang sedang menjalani masa iddah ini wajib dipenuhi oleh suaminya setelah terjadinya perceraian sampai habis masa iddah. Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 juga menyebutkan dalam pasal 41 poin c dimana pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Diantara hak tersebut adalah:
1. Hak istri yang berada dalam iddah wafat
Istri yang sedang menjalani masa iddah karena kematian suaminya berhak menerima warisan seperempat dari harta suaminya bila mereka tidak memiliki anak dan seperdelapan jika ada anak. Akan tetapi istri dalam iddah wafat ini tidak berhak mendapat iddah nafkah dari suaminya karena kematian menghapuskan seluruh akibat perkawinan. Adapun dalilnya ialah hadist Nabi SAW yang berbunyi:
عَنْ جَابِرِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَرْفَعَهُ فِى الحَامِلِ المُتَوَفِّى عَنْهَا زَوْجُهَا قََالَ لاَنْفَقَةَ لَهَا. اَخْرَجُهُ, بَيْهَقِى- وَرِجَالُهُ نَقَاتْ لَكِنْ قَالَ: لَحْفُوْظُ وَقَفُهُ وَثَبَثَ نَفِى النَفَقَةُ فِى حَدِيْثِ فََا طِمَهُ بِنْتِ قَيْسِ كَمَا تُقَدَّمَ رَوَاهُ مُسْلِمِ.
Artinya : “Dari Jabir r.a yang beliau nilai bersambung sanadnya hingga Rasulullh SAW tentang perempuan hamil yang di tinggal mati oleh suaminya beliau bersabda: Tidak ada nafkah baginya. Diriwayat oleh Baihaqi, dan para perawinya adalah orang–orang yang terpecaya. Akan tetapi kata Baihaqi : yang mahfuzh adalah mauqufnya (tidak bersambung sanadnya hingga Rasulullah SAW).

Sesuai dengan hadis diatas, maka perempuan yang menjalani iddah wafat tidak berhak mendapatkan nafkah meskipun ia dalam keadaan hamil. Hal ini disebabkan kewajiban suami memberi nafkah menjadi terhapus dengan adanya kematian.
2. Hak istri dalam iddah thalaq raj’i
Menurut kesepakatan fuqaha’, perempuan yang sedang menjalani iddah raj’i berhak menerima nafkah dari suaminya sama dengan nafkah sebelum terjadi perceraian, baik perempuan itu hamil atau tidak. Selain menerima nafkah, dalam iddah talak raj’i juga berhak menerima tempat tinggal.
Sebagaimana sabda rasulullah SAW:
(عَنْ فَطِمَهُ بِنْتِ قَيْسِ قَالَتْ : اَنَيْتُ النَبِى صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَ سَلَّمَ فَقُلْتُ : اَنَّ زَوْجِى فَُلاَنَا اُرْسَلَ اِلىَ بِطَلاَقِ. وَالِى سَالَتُ اَهْلَهُ النَفَقَةَ وَالسَكَتَى فَابُوا عَلَى. قَالُوا يَارَسُولُ اللهِ اَنَّهُ اَرْسَلَ اِلَيْهَا بِثَلاَثِ نَطَلِيْقَاتِ, قَالَتْ : فَقَالَ رَسُولُ اللهُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّمَا النَفَقَةَ وَالسَكَتِى لِلمَرْاَةُ اِذَا كَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا الرُجْعَةُ)
Artinya: “Diceritakan dari Fatimah binti Qais katanya: saya datang kepada Nabi SAW lantas saya berkata: Sesungguhnya suamiku si fulan telah mengutus seseorang untuk mentalaqku, dan sesunggunya saya meminta kapada keluarganya nafkah dan tempat tinggal lantas merekah tidak mau. Mereka [keluarganya] berkata: Wahai Rasulullah bahwa sesungguhnya utusan yang dikirim kepadanya telah melakukan talaq tiga. Fatimah berkata: Maka Rasulullah SAW bersabda: Sesunggunya nafkah dan tempat tinggal itu diperuntukan untuk bagi perempuan [istri] bila mana suami masih bisa kembali [rujuk] kepadanya.” [H.R Imam Ahmat dan Nasa’i]. Didalam sebuah riwayat disebutkan: ”Sesunggunya nafkah dan tempat tinggal itu diperuntukan bagi perempuan yang diwajibkan atas suami bilamana suami masih bisa rujuk kepadanya, maka apabila suami sudah tidak bisa rujuk kepadanya, maka tidak ada nafkah dan tidak ada tempet tinggal.[H.R Ahmat].

Dalam hadis ini disebutkan bahwa perempuan berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal hanyalah perempuan yang berada talaq iddah raj’i. Hal ini disebabkan perempuan dalam iddah talak raj’i masih berstatus sebagai istri.
2. Hak istri dalam iddah thalaq ba’in
Mengenai hak istri dalam masa iddah thalaq tiga, ada beberapa pendapat di kalangan fukaha, pendapat ini terdiri dari tiga, yaitu:
Pendapat pertama menyatakan bahwa istri yang berada dalam masa iddah talaq ba’in mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal sama dengan istri yang dithalaq raj’i. Hal ini disebabkan karena ia wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah
Pendapat kedua menyebutkan bahwa bekas istri tersebut tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Pendapat ini di kemukakan oleh Ahmad bin Hanbal. Landasannya yakni hadist Nabi SAW:

وَعَنْ الشَعْبِي عَنْ فَا طِمَةَ بِنْتِ قَيْسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنِّ النَبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي المُطَلَّقَةِ ثَلاَثًا( لَيْسَ لَهَا سَكَنِى وَلاَ نَفَقَةُ) رَوَاهُ مُسْلِمُ
Artinya : “Dari Sya’bi dari Fatimah binti Qais r.a dari Nabi SAW tentang perempuan yang dithalaq tiga. Dia tidak mempunyai hak rumah dan nafkah. (Hadis riwayat Muslim).

Hadist ini menceritakan tentang Fatimah binti Qais yang diceraikan oleh suaminya dengan thalaq tiga, lalu ia menemui Nabi SAW untuk menanyakan apa yang menjadi haknya selama menjalani masa iddah, lalu Nabi SAW menjawab bahwa ia tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari suami yang menthalaqnya.
Sedangkan menurut pendapat ketiga yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i, istri tersebut berhak mendapatkan tempat tinggal tetapi tidak mendapatkan nafkah kecuali ia Hamil. Mereka mengajukan alasan bahwa Aisyah dan Ibnu Musayyab menolak hadist Fatimah binti Qais di atas.
Disamping menerima hak yang wajib di penuhi oleh suami, istri dalam masa iddah juga dituntut untuk memenuhi kewajibannya yang merupakan hak bagi suami. Kewajiban ini lebih mengarah kepada larangan yang harus dihindari oleh istri selama masa iddah diantaranya adalah:
a. Istri dalam masa iddah thalaq raj’i tidak boleh dipinang oleh laki–laki lain meskipun pinangan tersebut dilakukan secara sendiran.
b. Istri dalam masa iddah thalaq raj’i ini juga dilarang melakukan perkawinan dengan laki–laki lain. Larangan ini berdasarkan firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 235 :
           •  
      •    
Artinya: ‘’….Dan janganlah kamu berazam ( bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis masa iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepadanya, dan ketehuilah bahwa Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyantun.”

Firman Allah di atas menyebutkan tentang bagi istri dalam masa iddah thalaq raj’i. larangan yang dijelaskan dalam ayat tersebut berkaitan dengan ketidak bolehan bagi laki-laki lain melaksanakan akad nikah dengan perempuan yang sedang dalam iddah thalaq raj’i.
Adapun istri yang menjalani iddah karena suaminya wafat boleh dipinang sekiranya pinangan tersebut dilakukan secara sendirian. Kebolehan ini berdasarkan firman Allah surat al Baqarah ayat 235 :
          
          
    •
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita–wanita itu dengan sendirian atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-menyebut mereka. Dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’aruf.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah membolehkan bagi laki-laki lain untuk meminang perempuan yang menjalani iddah wafat secara sendirian, tetapi Allah tetap tidak membolehkan melangsungkan perkawinan ketika menjalani iddah wafat ini sebagaimana yang ditegaskankan oleh Allah dalam surat al Bagarah ayat 235 diatas.
Selain wajib menjalani iddah, istri yang kematian suaminya juga berihddad, yaitu tidak mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empat bulan sepuluh hari. Kewajiban beriddah ini berdasarkan hadis Nabi SAW :
عَنْ اُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ كُنَّا نُنُهِى اَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ اِلاََّ عَلَى زَوْجِ اَرْبَعَةً اَشْهَرُ وَعَشَرَا وَلاَ نَكْتَحِلَّ وَلاَ نَتَطَيِّبَ وَلاَ نَلْبِسَ ثَوْبًا مَصْبُوْغًاوَقَدَ رَخَصَ لِلمَرْاَةِ فِى طَهَرِهَا اِذَا اِغْتِسَلَتْ اَحْدَانَا مِنْ مُحَيْضِهَا فِى نَبَذَةِ مِنْ قِسْطِ وَ اَظْفَارِ
Artinya : “Dari Ummu Athiyah r.a, katanya: Kami dilarang berkabung karena kematian lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suami, boleh empat bulan sepuluh hari. Selama masa berkabung itu, kami tidak dibolehkan memakai celak (Kosmetik), wangi-wangian, dan memakai pakaian yang bercorak (warna-warni). Tetapi hal seperti ini diperbolehkan bagi perempuan yang baru suci dari haid sekedar untuk kebersihan, kesehatan, dan menghilangkan bau amis.”

Hal-hal yang dilarang bagi istri dalam masa iddah wafat, berdasarkan hadis di atas, yakni memakai kosmetik, wangi-wangian, dan memakai pakaian berwarna-warni. Pada dasarnya semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki lain, dilarang memakainya bagi perempuan yang beriddah ini.
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum keluar rumah bagi perempuan dalam masa iddah. Golongan Hanafi berpendapat istri yang perkawinannya putus karena perceraian, baik talak raj’i maupun talak ba’in tidak boleh keluar rumah, baik siang maupun malam. Hal ini disebabkan istri yang ditalak itu nafkahnya masih diperoleh dari harta suaminya.
Adapun istri yang kematian suaminya, boleh keluar siang hari dan sebagian malam, tetapi tidak boleh bermalam di rumah orang lain kecuali di rumah keluarganya sendiri. Kebolehan keluar bagi istri yang beriddah wafat ini dikarenakan ia tidak mempunyai hak nafkah dari harta suaminya. Oleh sebab itulah dia mesti keluar siang hari untuk mencari nafkah.
Golongan Hanbali membolehkan keluar siang hari baik istri itu beriddah karena talak ataupun karena kematian suami. Dasar hukumnya adalah hadis nabi SAW :
وَعَنْ جَا بِرِ رَضِيَ اللهُ اِنَّهُ قَالَ : (طَلَقَتْ خَلَتِى فَارَادَتْ اِنَ تَجَدَ (ه) نَخَلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلُ اِنَّ تَخْرُجُ, فَاتَتْ النَبِى صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : بَلْ جَدَى نَخَلَكَ, فَاِنَكَ عَسَى اِنَّ تَصْدِقِى اَوْ تَفْعَلََى مَعْرُوْفًا) رَوَاهُ مُسْلِمَ
Artinya : Diceritakan dari Jabir ra katanya : Bibiku telah ditalaq tiga lantas dia keluar untuk memetik kurma dimana dia bertemu dengan seorang laki-laki itu mencegahnya. Maka bibi itu datang kepada nabi SAW selanjutnya menuturkan masalahnya kepada nabi SAW, maka sabdanya : Keluarlah engkau untuk memetik korma semoga engkau akan bersedekah dengan korma itu atau berbuat kebaikan.

Hadis di atas menceritakan tentang seorang istri yang ditalak tiga ketika menjalani masa iddahnya, dia keluar untuk memetik korma lalu hal ini disampaikan kepada Nabi SAW dan nabi tidak melarangnya.

E. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Kewajiban Suami Terhadap Istri Dalam Masa Iddah
Para ahli fiqh sepakat bahwa perempuan yang ditalak raj’i masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Namun para ahli fiqh masih berbeda pendapat tentang perempuan yang ditalak tiga.
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Abu Hanifa berpendapat bahwa : “Dia punya hak nafkah dan tempat tinggal seperti perempuan yang ditalak raj’i. karena dia wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya. Sedangkan di rumah ini terkurung, karena suaminya masih ada hak kepadanya. Jadi dia wajib mendapatkan nafkahnya. Nafkahnya ini dianggap hutang yang resmi sejak hari jatuhnya talaq. Hutang ini tidak dapat dihapus, kecuali sudah dibayar lunas atau dibebaskan.”
2. Ahmad mengatakan : “Dia tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal, sebagaimana hadis Fatimah bin Qais : bahwa ia telah ditalaq tiga kali oleh suaminya. Lalu Rasul SAW bersabda kepadanya (Fatimah) engkau tidak ada hak nafkah dari padanya(suaminya).”
3. Safi’i dan Malik berkata : “Dia mendapatkan hak tempat tinggal, tetapi tidak mendapatkan hak nafkah, kecuali kalau hamil. Karena Aisyah dan Ibnu Musayyab menolak hadis Fatimah di atas.”
4. Malik berkata : “ Saya mendengarkan Ibnu Syaibah berkata : “istri yang ditalak tiga tidak boleh keluar dari rumahnya sebelum lepas iddahnya.” Dan tidak dapat hak nafkah kecuali kalau hamil dan jika hamil mendapatkan hak nafkahnya sampai lahir anaknya.

Setelah membacakan dan memahami pendapat-pendapat ulama itu maka penulis menyimpulkan bahwa ulama fiqh sepakat tentang istri yang berada dalam iddah talak raj’i mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal. Hak yang sama juga diberikan kepada istri yang hamil sampai dia melahirkan. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT. at-Talak ayat 6 :
  
Artinya : Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal. Qs At-Talak :6.

Sedangkan bagi istri yang ditalaq ba’in terjadi perbedaan pendapat ulama, sebagian mereka menghapuskan nafkah dan tempat tinggal, dan sebagian lainnya hanya memberikan tempat tinggal tanpa nafkah.
Para ulama yang mewajibkan suami memberikan tempat tinggal dan nafkah bagi istri yang ditalaq, terutama yang talaq raj’i disebabkan pada waktu iddah istri tersebut tidak menerima dari orang lain apalagi pada khusus talak raj’i, seperti kita ketahui perempuan dalam talaq raj’i itu tidak boleh dipinang oleh orang lain sebab hak suami yang melekat pada dirinya. Dia harus menyadari bahwa mantan suaminya khusus dalam talak raj’i mempunyai hak kembali kepadanya, yang tidak dipunyai orang lain.

F. HIKMAH IDDAH
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa perempuan yang berada dalam masa iddah apabila iddahnya talak raj’i maka suaminya berhak rujuk kembali, akan tetapi apabila dia hendak menikah dengan laki-laki lain maka ia harus menunggu sampai masa iddahnya habis.
Sedangkan dalam talaq ba’in suami tidak berhak rujuk kembali kecuali dengan akad baru apabila telah habis masa iddahnya.

Adapun hikmah adanya iddah adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak bercampur antara keturunan seseorang dengan yang lain.
2. Memberi kesempatan kepada suami dan istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
3. Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo berpikir yang panjang. Jika diberi kesempatan demikian, maka tidak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar disusun dan sebentar dirusak.
4. kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami dan istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya .

Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan putusnya ikatan tersebut, maka untuk mewujudkan tetap terjalinnya kelanggengan tersebut harus diberi tempo beberapa saat untuk memikirkannya dan memperhatikan apa keinginannya.
Sedangkan al-Jurjawy mengatakan hikmah iddah itu ada empat sebagai berikut, dikutip dari buku karangan Drs H Rahmat Hakim dengan judul hukum perkawinan Islam.
1. Kita dapat mengetahui kebersihan rahim seorang wanita yang telah ditalaq atau karena kematian suami. Kalau tidak ada syari’at tentang iddah, perempuan itu dapat langsung nikah dengan laki-laki lain, tentu akan terjadi percampuran keturunan dan menghasilkan generasi yang sama. Tujuan dari hukum Islam yaitu hifzun nasbi atau pemeliharaan keturunan tidak tercapai.
2. Memperpanjang masa kembali suami untuk menuju mantan istri dalam kasus talaq raj’i. menurut penulis inilah yang menjadi esensi dari syar’i tentang iddah ini, yaitu dalam upaya menyelamatkan institusi perkawinan dari kehancuran yang lebih fatal, masa tenggang waktu yang relatif lama hendaknya dipergunakan untuk introspeksi diri, menyadari kekeliruan, memaafkan kesalahan istri atau suaminya dan harapan bersatunya mereka kembali melalui ruju’ menyambung kembali silaturrahmi yang nyaris putus.
3. Masa bergabung istri yang ditinggal mati suami digunakan kembali untuk mengenang kembali kenangan lama dengan suaminya.
4. Suatu masa yang akan digunakan oleh calon terutama yang akan menikahinya, untuk tidak cepat-cepat masuk ke dalam kehidupan seorang perempuan yang baru diceraikan mantan suaminya, ada kemungkinan dia masih memiliki persoalan, mungkin masalah harta atau yang lainnya.

Dalam buku perkawinan hukum Islam dan UU perkawinan karangan Soemiyati diungkapkan beberapa hikmah iddah antara lain:
a. Untuk memberikan kesempatan berpikir kembali dengan pikiran yang jernih, setelah mereka menghadapi kehidupan rumah tangga yang panas dan yang demikian keruhnya sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus.
b. Dalam perceraian karena ditinggal mati suami, iddah ini diadakan menunjukkan rasa berkabung atas kematian suaminya.
c. Untuk mengetahui apakah dalam masa iddah yang berkisar antara tiga atau empat bulan itu, istri dalam keadaan mengandung atau tidak, hal ini penting sekali untuk ketegasan dan kepastian hukum mengenai nasab dan bapak sianak yang seandainya telah ada dalam kandungan.
Al Kamal Mukhtar dalam bukunya Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan mengemukakan hikmah iddah antara lain :
1. Agar tidak ada keraguan tentang kesucian rahim bekas istri, sehingga tidak ada keraguan tentang anak yang dikandung oleh bekas istri apabila ia telah kawin dengan laki-laki lain.
2. Apabila perceraian itu adalah perceraian yang bekas suami masih berhak rujuk kepada bekas istrinya, maka masa iddah itu adalah masa berfikir bagi bekas suami apakah ia akan kembali menggauli bekas istrinya atau mereka tidak akan bergaul kembali sebagai suami istri.
3. Apabila perceraian itu karena salah seorang suami istri meninggal dunia maka masa iddah itu adalah untuk menjaga agar jangan timbul rasa tidak senang dari keluarga suami yang meninggal karena baru saja suaminya wafat, ia telah kawin lagi dengan laki-laki lain.
Dalam ilmu fiqh jilid II yang dikeluarkan Departemen Agama RI dikemukakan bahwa tujuan disyari’atkannya iddah ialah untuk :
1. Iddah bagi istri yang ditalak raj’i oleh suaminya mengandung arti memberi kesempatan secukupnya kepada bekas suami istri itu untuk memikirkan, merenungkan, dan memperbaiki diri dan pribadi masing-masing.
2. Iddah bagi istri yang ditalak ba’in atau perceraian dengan putusan pengadilan berfungsi antara lain untuk meyakinkan bersihnya kandungan istri dari akibat hubungannya dengan suaminya agar dengan demikian terpelihara kemurnian nasab iddah ini juga memberikan kesempatan kepada bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya selama masa iddah tersebut.

3. Iddah bagi istri yang ditinggal mati adalah dalam rangka belasungkawa dan sebagai tanda setia serta menormalisir kegoncangan jiwa istri akibat ditinggalkan suaminya.
Di samping hikmah iddah yang telah dikemukakan di atas, Muhammad Ali Assabuni menyebutkan hikmah iddah yaitu ;
1. Sebagai satu ibadah dalam rangka melaksanakan perintah Allah terhadap muslimah.
2. Memberikan kesempatan pada suami yang bercerai untuk memulai hidup baru dengan jalan rujuk.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli fiqh mengenai hikmah iddah, dapat penulis kemukakan bahwa hikmah iddah ialah untuk :
1. Mematuhi perintah Allah SWT dalam rangka melaksanakan ibadah
2. Mengetahui bersih atau tidaknya rahim seorang wanita sehingga kemurnian nasab terpelihara.
3. Memberikan kesempatan berfikir bagi masing-masing pihak yang telah bercerai untuk melanjutkan atau mengakhiri ikatan perkawinan mereka
4. Memberikan kesempatan kepada pihak keluarga untuk mengupayakan perdamaian
5. Menghormati dan menjunjung tinggi akad perkawinan serta menjaga timbulnya fitnah bagi istri yang ditinggal mati suaminya.

0 comments:

Post a Comment

 
© Copyright by Perjalanan Hidup  |  Template by Blogspot tutorial